JustPaste.it



E. YONATA MIREYA SOERJONEGORO-SCHOUTEN.




 

DAFTAR ISI

I. PROFIL
II. KEPRIBADIAN
III. LATAR BELAKANG
IV. TRIVIA
V. RIWAYAT PENDIDIKAN
VI. RIWAYAT PEKERJAAN
VII. PENGALAMAN ORGANISASI

 


 

8da701219520f98122bc9dd3e2d9f903.jpg

 

I. ) PROFIL

Nama Lengkap Emilia Yonata Mireya Soerjonegoro-Schouten.

Nama Panggilan Yona, Emilia, Yonata

 

Tempat dan Tanggal Lahir Jakarta, 8 Agustus 2000

Kewarganegaraan Indonesia

Golongan Darah O

Etnis Belanda, Prancis, Indonesia, China, Jepang.

 

Tinggi Badan 165 cm

Berat Badan 45 kg

Rambut Hitam, lurus

Mata Double-eyelid, cokelat

 

Klaim Wajah Yoo Ji-Min (Karina aespa)

Klaim Suara Yoo Ji-Min (Karina aespa)

 

II. ) KEPRIBADIAN

      • Pendiam dan pendiam hanya dengan orang asing, tetapi sangat cerewet dan berisik jika bersama orang yang sudah dekat dengannya. 
      • Bukan seseorang yang senang dengan keramaian, ia lebih senang melakukan aktivitas seorang diri.
      • Memiliki jiwa sosial yang tinggi. 
      • Memiliki prinsip yang kuat tetapi bukan seseorang yang keras kepala. Ia selalu mencoba mempelajari cara berpikir yang berbeda dengan dirinya. 
      • Fleksibel tetapi penuh perhitungan. Ia tidak menyukai sesuatu yang terlalu kaku, tetapi ia juga tidak senang dengan sesuatu yang sembrono tanpa memperhitungkan konsekuensi. 
      • Senang mempelajari hal-hal baru, rasa ingin tahunya tinggi. Jika mempelajari sesuatu yang baru, ia tidak mudah menyerah tetapi juga cepat merasa bosan. 
      • Tidak terbiasa sensitif dengan dirinya sendiri. Terkadang, ia tidak menyadari bahwa dirinya sedang merasa stress dan berbeban berat karena terbiasa untuk mengabaikannya sampai akhirnya merasa lelah secara batin. 
      • Terlalu keras dengan dirinya sendiri. 
      • Kritis dan suka mengomentari hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Orang mungkin menganggapnya sebagai tukang protes atau tukang komplain, tetapi sebenarnya ia hanya mengkritisi dan merasa penasaran. Ia tidak pernah mempermasalahkan jika kritik atau argumennya dibantah. Pada dasarnya, ia suka berdiskusi. 
      • Tidak menyukai konfrontasi dan konflik. Jika menghadapi sebuah konflik dengan orang lain, ia memiliki kecenderungan untuk mengabaikannya, kecuali hal itu menyangkut orang-orang terdekat. Apabila harus benar-benar mengutarakan pendapat pribadinya, ia kerap merasa kesulitan karena takut membuat orang lain tersinggung dan memunculkan konflik. 
      • Tidak menyukai hal yang tidak terorganisir. 
      • Bukan seseorang yang pemberontak, tetapi bukan juga seseorang yang sangat penurut. Ia hanya akan patuh terhadap sesuatu jika ia rasa hal tersebut dapat diterima dengan logika serta prinsipnya. 
      • Dalam beberapa hal, ia bisa menjadi agak ceroboh. Ingatannya juga tidak terlalu baik untuk hal-hal yang sifatnya mundane.

 

 

III. ) LATAR BELAKANG

Sejak kecil, aku menyadari bahwa aku tidak seperti keluargaku kebanyakan. Aku juga tidak seperti kebanyakan anak-anak yang lahir dengan sendok emas di mulutnya. Aku merasa, mereka semua lahir dengan takdir untuk menjadi “seseorang”, untuk menjadi spesial. Namun, tidak denganku. Aku sadar bahwa aku bukan anak yang spesial dan aku tidak memiliki nilai untuk menjadi “seseorang”. 

 

Darah seni jelas mengalir pada darah saudara-saudara kandungku, tak terkecuali saudara kembarku. Mereka semua memiliki nilai dan bakat, tapi aku tidak. Kendati demikian, aku kecil selalu berusaha mencari sesuatu agar aku bisa berdiri sejajar dengan saudara-saudaraku dan orangtuaku. Aku berusaha melukis, tetapi tetap saja aku tidak pernah bisa menyamai adik-adikku. Bernyanyi? Ah, tidak, aku tidak percaya diri dengan suaraku sendiri. Bermain musik? Not-not balok itu sangat membingungkan. Membuat film? Prosesnya terlalu abstrak untuk dicerna oleh otak sederhanaku ini. Pun dengan memahat atau fesyen … Yah, sepertinya aku memang tidak berbakat.

 

Satu-satunya hal yang bisa aku usahakan adalah pendidikan. Meski aku bukan siswa terpandai, bukan juga siswa yang menjejak barisan peraih nilai paling tinggi seperti Elie—saudara kembarku—tetapi prestasi akademis-ku cukup memuaskan. Aku bahkan berhasil lolos di seleksi bersama perguruan tinggi di Universitas idamanku, Universitas Gadjah Mada. Namun, ada alasan lain mengapa aku memilih universitas negeri ketimbang melanjutkan di universitas-universitas elit seperti Ivy League layaknya anak-anak dari keluarga konglomerat. Aku tidak ingin menjadi seperti mereka yang buta dengan realita. Setiap kali aku bertemu dengan mereka, percakapan mereka hanya soal hal yang indah-indah saja; bisnis keluarga, saham, tamasya ke luar negeri, barang-barang mewah, politik internasional. Kalau memang dunia ini seindah itu, kenapa ketika aku menengok ke surat kabar, masih banyak berita tentang angka kemiskinan yang terus meningkat? Kenapa masih banyak kabar tentang orang yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena tidak punya uang? Dunia di luar sana rupanya tidak seindah kehidupan dalam tempurung berhiaskan emas dan berlian ini. Karena itu, aku ingin bertemu dengan orang-orang yang “nyata”, bukan orang-orang “superfisial”.  Mungkin, aku harus berterima kasih kepada kegiatan community service yang diselenggarakan oleh sekolahku—mereka telah memperkenalkanku kehidupan di balik tembok emas ini; memperkenalkanku akan bagaimana wajah negeri ini sesungguhnya, bagaimana keberadaanku mungkin bisa menjadi berarti untuk orang lain. 

 

Namun, kehidupan universitas tidak seperti kehidupan SMA. Terlalu banyak macam-macam orang di sini. Aku bisa berkata bahwa menjalani kehidupan di universitas tidaklah mudah. Aku pernah bertemu dengan orang-orang yang mendekatiku hanya karena latar belakang keluargaku. Aku juga pernah bertemu dengan orang yang skeptis dengan kapasitas dan kompetensiku, mungkin dia pikir orang berduit tidak boleh pintar dan sekolah di UGM. Sepertinya mereka juga berpikir bahwa semua orang berduit tidak mengenal kerja keras dan selalu menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya. Tak hanya itu, aku juga pernah bertemu dengan orang-orang yang takut denganku tanpa alasan, mungkin mereka pikir aku akan mengirim tukang pukul dan membuang mereka ke laut jika main-main denganku. 

 

Di tahun kedua, sebenarnya aku sudah mulai menyerah untuk mencari teman. Aku merasa sepertinya aku memang harus berjuang sendiri untuk meraih gelar sarjana. Namun sepertinya, semesta berkata lain. Di tahun kedua, aku bertemu dengan Lia dan Sinta. Kami bertemu di matakuliah Praktikum Komunikasi, kursi kami kebetulan bersebelahan, dan sejak itu kami menjadi sangat akrab. 

 

Lia dan Sinta membuatku menjadi sangat betah di Jogja. Mereka sering membawaku berkunjung ke setiap sudut Jogja. Tidak hanya kawasan kotanya saja, tetapi juga daerah Kaliadem—tempat yang paling dekat dengan Gunung Merapi—sampai daerah Kulon Progo yang berbatasan langsung dengan Purworejo. Aku melihat alam yang begitu indah, juga berbincang dengan warga-warga setempat yang membuatku jadi sedikit paham Bahasa Jawa. Bersama mereka pula, aku semakin aktif menyumbangkan tenagaku untuk membantu daerah-daerah terpencil yang jauh dari kata pembangunan yang layak. 

 

Selepas menyandang gelar sarjana, aku memutuskan untuk terus mengabdi; pergi ke wilayah timur Indonesia, bekerja di sebuah organisasi non-profit yang justru terlihat lebih peduli terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia ketimbang pemerintahnya sendiri. Meski sebenarnya perjalananku menjadi seorang aktivis ini dilakukan untuk menyelamatkan orang lain, nyatanya justru orang-orang itu yang menyelamatkan diriku. Dan berkat pengalaman-pengalaman iini, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dengan satu keyakinan: aku akan membantu orang lain, mulai dari mereka yang paling dekat denganku—keluargaku. 

 

IV. ) TRIVIA

      • Berbeda dengan saudara-saudaranya, ia merasa tidak memiliki keahlian di bidang seni. Kendati demikian, ia dapat menikmati karya-karya seni dengan sangat baik. 
      • Di waktu luangnya, ia selalu menyempatkan diri untuk mempelajari bahasa asing. 
      • Suka bermain gim meski tidak ahli. 
      • Menyukai segala jenis lagu, mulai dari musik klasik hingga musik populer. Ia juga senang menghadiri pertunjukan orchestra. 
      • Bisa memasak tetapi tidak suka memasak. Ia hanya suka makan.
      • Porsi makannya sedikit. Ia tidak bisa makan dengan porsi banyak. 
      • Sangat menyukai susu dan makanan atau minuman berbahan dasar susu. 
      • Saat duduk di bangku SMP dan SMA, ia tergabung dalam ekstrakurikuler Mading dan Jurnalistik. 
      • Meski tidak menyukai sesuatu yang tidak terorganisir, ia mengakui bahwa kamarnya cukup berantakan. Namun, ia selalu tahu dimana ia meletakkan barang-barangnya yang kadang-kadang berserakan itu. 
      • Lebih menyukai buku-buku bacaan fiksi ketimbang non-fiksi. Daya imajinasinya juga cukup tinggi. 
      • Suka menyusun puzzle.  
      • Senang menyibukkan dirinya sendiri bahkan di waktu luang. Ia merasa tidak nyaman jika selalu bersantai-santai tanpa melakukan apapun. Meski itu hanya sekadar bermain gim atau membaca buku, yang penting ia punya aktivitas.

V. ) RIWAYAT PENDIDIKAN

      • 2003-2006: Jakarta Montessori School (TK).
      • 2006-2012: Jakarta Montessori School (SD).
      • 2012-2015: SMP Putra Bakti [1].
      • 2015-2018: Rhodium Heritage Academy [2].
      • 2018-2021: Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada.

VI. ) RIWAYAT PEKERJAAN

      • Januari 2020-Juni 2023: Staf Divisi Komunikasi & Hubungan Masyarakat, Ruang Aksi Nusantara Foundation (RANA Foundation) [3].
      • Agustus 2023-Juli 2024: Public Relations Staff, Binar Studios. 
      • Juli 2024-sekarang: Asisten Koordinator Produksi, Divisi Produksi, Binar Studios.

VII. ) RIWAYAT ORGANISASI

      • 2015-2017: Anggota Klub Jurnalistik.
      • 2017: Relawan Youth For Change [4].
      • 2018: Relawan Youth For Change.
      • 2018-2020: Anggota Sub-divisi Public Relation BPPM Balairung.
      • 2024-sekarang: Relawan Klub Buku Anak 'Buku Kita' [5].

[1] SMP Putra Bakti adalah sekolah tingkat menengah pertama fiksi.

[2] Rhodium Heritage Academy adalah sekolah tingkat menengah atas fiksi.

[3] Ruang Aksi Nusantara adalah sebuah organisasi non-profit fiksi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan ekonomi desa. 

[4] Youth For Change adalah sebuah organisasi non-profit fiksi di bidang pemberdayaan masyarakat yang kerap membuka program relawan untuk anak-anak remaja. Biasanya, program ini dilaksanakan selama 2 (bulan) saat hari libur semester.
[5] Buku Kita merupakan klub buku fiksi untuk anak-anak yang diselenggarakan di perpustakaan fiksi khusus anak, 'Buku Bersama'.