fanfiction by yeppeutta
copyright © 2018
LET US NOT
[ contains: nsfw thingy ]
Jihoon adalah salah satu gadis yang namanya cukup dikenal baik di lingkungan kampus ia menuntut ilmu. Dengan kekasih yang sama-sama tidak asing namanya serta punya image tidak kalah bagus pula, mereka kemudian cukup memperoleh banyak sorotan. Hubungan antara Jihoon dan Soonyoung, kekasihnya, dinamai sebagai hubungan paling sehat serta dinobatkan sebagai couple goals saking seringnya orang merasa iri pada cara Soonyoung menjaga Jihoonnya.
Di beberapa kesempatan, Jihoon sering terlihat mendapat perlakuan lembut dan bahkan Soonyoung yang meledak-ledak sering jadi begitu patuh di sisi sang kekasih. Tidak berbeda jauh, Jihoon pun punya kecenderungan manis dan penurut saat ada di sekitar Soonyoung, padahal ia dikenal cukup keras dan ogah bersikap ramah. Jika sudah bersama, dua insan itu jadi lebih terkontrol dan amat manis. Tidak ada interaksi berlebih, bahkan belum ada satupun mata yang menemukan kedua orang itu berperilaku lebih intim dari saling memeluk saat Jihoon hari itu mengadu bahwa ia lupa mengerjakan satu soal di kala ujian.
Namun, di balik itu semua, Jihoon dan Soonyoung ternyata punya rahasia besar. Antara keduanya, tidak ada yang tidak punya fantasi besar satu sama lain. Meski faktanya di dalam pikiran mereka sama-sama penuh dengan bayangan jauh, tidak ada yang berani untuk memulai lebih dahulu. Hal itu terbukti pada bagaimana ciuman selalu berakhir dengan napas terengah dan dilanjutkan perbincangan sambil sebatas saling memeluk. Satu-satunya yang dinyatakan paling jauh adalah saat Jihoon sangat kesal melihat Soonyoung yang populer dan memutuskan memberi tanda merah berlimpah pada leher sang kekasih, lantas disambut kekehan dan dibalas dengan limpahan merah-merah pula yang harus diakui warnanya jauh lebih gelap.
.
.
Malam ini, masih seperti malam-malam biasanya, Jihoon seorang diri di rumah yang kemudian meminta Soonyoung untuk datang karena ia tidak suka kesepian. Kedua orang tua sang puan sibuk mengurus pekerjaan dan jadi lebih berani pulang larut lagi semenjak mengetahui anaknya memiliki kekasih yang berkenan untuk menemani hingga malam. Soonyoung sendiri mengaku tidak pernah keberatan, lagi pula ia jauh lebih khawatir tiap kekasihnya bercerita tengah seorang diri di rumah yang akhirnya membuat taruna itu tanpa ragu melajukan kendaraan untuk menemani gadisnya.
“Soonyoung,” Jihoon memanggil saat buku-buku yang berserakan di meja sudah tertutup rapi sambil siap ditata. Perempuan itu baru saja selesai belajar. “Mau makan sesuatu?”
Yang ditanya menggeleng, ia tersenyum tipis sambil meraih tubuh mungil Jihoon untuk duduk ke pangkuan. Memang, meski disebut jarang memamerkan kemesraan dan terlihat punya interaksi tipis intim namun manis, mereka sejujurnya sering melakukan hal jauh ketika hanya berdua.
“Cookies buatanmu makin enak, sepertinya jam terbang mempengaruhi kemampuan,” ia terkekeh kecil sebelum mengecup lembut bibir kekasihnya. Membuat rona merah jelas-jelas tersepuh pada pipi sang kekasih, menyisakan rasa malu-malu bagi gadis itu karena pujian yang diberi dengan ringan.
Jihoon mendengus, sedikit merasa kesal dan tersindir akan ucapan kekasihnya barusan. Tangannya lantas melingkar pada leher sang taruna dan menggigit bibir bawah itu sebelum bersuara, “Aku belajar demi membungkam mulutmu yang suka memuji cookies buatan Wonwoo, tahu?”
Soonyoung meringis, tapi sambil terkekeh lembut mendengar penuturan kekasihnya. Ia usap bibir lembut Jihoon sambil mengecupinya perlahan, lalu pandangannya berpautan dengan sang kekasih, membuat keduanya sama-sama tenggelam dalam tatapan masing-masing. “Kamu tetap lebih spesial, Jihoonie. Kenapa harus khawatir kalau aku memuji cookies buatan orang lain, sih? Aku pikir kamu bukan tipe tidak percaya diri begitu.”
“Aku banyak tidak percaya diri kalau itu menyangkut tentangmu, Soonyoungie.”
Keduanya terdiam. Memutuskan untuk hanya saling menatap sambil membiarkan wajah yang amat dekat hingga napas beradu dan menerpa wajah masing-masing.
Hingga kemudian, Jihoon menjilat lembut ibu jari yang sejak awal mengusapi bibir bawahnya. Membuat gerakan sedikit sensual dengan lidahnya, lalu mengulum jari itu lembut hingga yang diperlakukan demikian sedikit terkesiap.
Ini terlalu tiba-tiba. Soonyoung seolah menemukan sosok Jihoon yang baru dengan sorot mata tajam dan menantang. Jihoon menggerakkan jemarinya dengan cara berbahaya hingga pemuda itu terlihat gugup dengan pemandangan barusan. Belum pernah sebelumnya ia melihat sang kekasih berlaku demikian, mengingat pula Jihoon yang mengaku belum punya pengalaman romansa seolah cukup membuat Soonyoung berani berkata, ini adalah pertama kalinya.
“Jihoonie, jangan begitu,” ia mendesisi setengah frutasi. Rasa lidah yang berputar dengan gerakan lembut dan menggoda itu jelas membuat Soonyoung agak gemetar. Tubuhnya tergoda hanya dengan memandang dan merasakan buaian yang diberi oleh gadisnya. Kepalanya mendadak terasa pening karena godaan yang sang puan lakukan.
Jihoon menggeleng. Kuluman justru makin jauh memabukkan dengan jemari kini sepenuhnya di dalam mulut, dijilati memutar oleh lidah Jihoon dan hisapan agak kuat yang lalu membuat jari itu terasa makin melesak dalam.
Tentu saja Soonyoung tidak tahan dengan perlakuan begitu. Jadi, dalam waktu sepersekian sekon, ia menarik keluar jarinya, lantas membungkam bibir sang gadis sebelum melayangkan protes dengan ciuman agak memaksa. Lumatan dibubuhkan pada bibir bawah yang tadi ia usapi, menghisap kuat-kuat persis cara gadis itu menghisap jemarinya tadi. Mungkin bibir itu kemudian membengkak, tapi Soonyoung meneruskan dengan ciuman dalam dan terburu-buru seolah dirinya sudah sangat mendamba.
Sejujurnya, Soonyoung punya banyak pengalaman soal percintaan. Dibanding Jihoon yang masih baru, ia memiliki beberapa mantan dan mengalami banyak proses hubungan. Dengan Jihoon, ia akui segalanya bergerak lamban. Di usia hubungan yang telah melampaui seratus hari, ia masih gugup seolah dirinya dungu soal berhubungan dalam percintaan. Interaksi mereka selalu sejauh ciuman dalam. Lantas jika Jihoon melakukan hal tadi, bagaimana kepalanya dapat berpikir jernih setelah sudah sangat lama ia menahan dan mengontrol diri?
“Astaga,” Soonyoung mendesis. Mendapati sorot mata sayu dengan bibir agak membengkak dari sang kekasih rasanya cukup untuk membuat pemuda itu makin hilang arah. Napasnya memburu dengan Jihoon yang terlihat berkali lebih cantik dengan rambut berantakan karena ciuman yang mereka barusan sedikit lebih tergesa daripada yang sering mereka lakukan.
Dari bibir, ia menggelincir secara perlahan mulai dagu dan berhenti pada perpotongan leher. Dikecupi leher jenjang sang puan dengan cara lembut yang sensual, terasa jauh lebih mendebarkan daripada yang biasa Soonyoung lakukan. Jihoon gemetar, apalagi ketika hisapan itu berubah secara perlahan menjadi lebih intim dan buat sang puan merasa seperti mendapat hantaman pelan dengan cara manis hingga rasa pening jadi begitu menyenangkan.
“Kamu… manis sekali, Jihoonie,” taruna itu mendesis kembali. Merasa begitu tergoda melihat gadisnya ada di rangkulan dengan leher penuh tanda merah baru, juga napas sedikit terengah setelah dibuat panas sekaligus wajah memerah. Jihoon jadi berkali lebih menggoda dari ia biasanya. “Rasanya ingin menandai sekujur tubuhmu karena sudah berani menggodaku.”
Jihoon terkekeh serak. Napasnya masih berantakan, tapi ia tersenyum tipis sebelum berkata, “Tandai saja.”
Lampu hijau. Soonyoung bukan tipikal orang tidak sabaran, tapi melihat lampu hijau menyala, tentu saja menyeringai. “Buka bajumu kalau memang begitu.”
“Huh?” kening sang puan mengerut halus, terlihat bingung dengan perintah yang diajukan sang kekasih. “Kamu bisa membukanya sendiri, Soonyoung.”
Soonyoung menggeleng, tangannya membelai lembut punggung Jihoon dengan cara magis yang berhasil membuat gadis itu menggigil. “Aku mau lihat,” ujarnya lirih setelah jarinya berhenti menggoda sang terkasih.
Wajah gadis itu memerah, ia diminta membuka baju. Lantas dengan membayangkan dirinya perlu melepas pakaian sendiri di hadapan Soonyoung, tentu saja sang puan malu. Tapi ia tidak gentar. Tangannya dengan gugup melepas kancing kemeja yang ia kenakan. Perlahan tulang selangka terlihat, menonjol dan bercekungan agak dalam. Disusul belahan dada akibat bungkusan pakaian dalam polkadot warna merah muda yang seperti menekan terlalu kuat dan memaksa dua payudara sintal itu saling menempel.
Wajah sang taruna ikut memerah. Jihoon terlihat sangat menggairahkan, dan dirinya mendadak makin kalap. Ditariknya napas panjang, lantas menggigit bibir bawah untuk sekadar mengembalikan kesadaran.
“Su– sudah,” ia menahan pergerakan jari lentik itu sebelum seluruh kancing yang terkait ditanggalkan. Membebaskan dan memamerkan lebih banyak kulit hingga taruna itu makin hilang arah. Soonyoung tidak mau tergesa, ia pun langsung memeluk erat tubuh Jihoon sambil mengusap punggung gadis yang ia cintai itu. “Maaf, Jihoonie. Aku… belum bisa sekarang.”
Jihoon agaknya terpukul. Ia yang kebingungan mendadak kembali sadar, namun makin turun dalam tingkat kekuatan. Kepalanya terkulai lemas pada leher Soonyoung, juga pelukan tanpa tenaga membalas rangkulan sang taruna. Gadis itu terlihat makin merah.
Dalam pelukan, suasana hening. Tidak ada yang mau bersuara dan hanya membiarkan keduanya saling diam dengan pikiran masing-masing.
Lantas, suara isakan lirih terdengar. Jihoon meloloskan air mata hingga membasahi pakaian Soonyoung dan yang dipeluk pun jadi panik sekaligus khawatir. Jihoon menangis dalam pelukan.
“Hey, tenanglah…,” pemuda itu menggumam sambil mengusapi punggung gadisnya. Mencoba menenengkan isakan yang dibuat. “Kenapa, Jihoonie?”
Yang ditanyai menggeleng. Sementara itu, isakannya belum berhenti. Wajahnya yang memerah cukup untuk menjelaskan bahwa ia sungguhan berusaha menahan tangisan pula.
“Malu,” gadis itu menggumam tiba-tiba dengan terbata. Isakannya agak lebih tenang meski masih sesekali terdengar.
“Maaf, Jihoonie,” Soonyoung meringis kecil mendengar penuturan itu. Mendadak jadi merasa bersalah, apa lagi mendapati gadisya sampai menangis seperti sekarang. “Aku hanya belum berani untuk melakukan itu. Aku pikir, kamu masih ketakutan untuk melakukannya.”
Jihoon mengangguk lirih, lalu mengusap punggung kekasihnya lembut. “Tidak apa-apa, aku hanya malu.”
“Sabarkan dirimu, ya?”
Gadis itu terkekeh kecil dengan suara serak. “Ya, Soonyoungie.”
— end.