“Arrghhhh! Bete bete bete!”
Renata membanting tas sekoahnya sedetik setelah dia memasuki rumah. Ibunya yang sedari tadi tengah menikmati quality time dengan buku yang bagus dan teh yang nikmat merasa terganggu dengan kelakuan putri semata wayangnya itu.
“Kenapa sih, Nak? Itu keramik harganya mahal lo. Jangan sembarangan banting barang dong.”
“Itu, Ma, si Alya. Mentang-mentang cakep dikit sombong banget. Masa tadi disuruh kerja bakti dia cuma duduk-duduk aja. Pas ditanya dia bilang, ‘nanti tanganku kotor.’”
Renata mengeluarkan uneg-uneg hatinya sembari menirukan suara Alya dengan gaya centil. Kekesalan Renata pada Alya sudah bukan cerita baru. Tiga atau empat kali seminggu Renata pasti pulang dengan cerita yang serupa.
“Parahnya lagi cowok-cowok di kelas semua belain dia. Makin besar kepala aja tuh l0nte!”
“Hussh! Jangan ngomong begitu.”
Bu Renata menutup bukunya. Satu atau dua keluhan mungkin wajar, tapi jika sudah seperti ini dia sendiri pun bosan mendengarnya. Mungkin … mungkin ada cara untuk membantunya.
“Renata, sini sebentar. Ada yang mau Mama tunjukin.”
Renata dengan patuh mengikuti ibunya ke kamar. Dia menunggu saat ibunya mengorek isi lemari dan mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang tampak sudah dimakan rayap.
“Dulu nenekmu ngasih ini ke Mama. Mama sebenarnya nggak mau ngasih ini ke kamu, tapi karena masih sisa sedikit, mungkin ini memang takdir.”
Di dalam kotak itu ada sebuah botol kaca kecil berisi cairan bening. Tidak banyak, mungkin cuma satu atau dua tetes saja.
“Apa itu, Ma?”
“Cairan pembawa sial,” mamanya berbisik. “Siapa pun yang kena sentuh cairan ini bakal menarik kesialan pada dirinya.”
Renata cuma memasang wajah bingung dan kasihan. Dia tak pernah menyangka ibunya percaya takhayul zaman abad pertengahan seperti itu.
“Nggak percaya? Sini coba.”
Ibunya membuka tutup botol itu dan memaksa Renata mencium aroma yang keluar dari botol. Cairan itu sama sekali tidak berbau jadi Renata benar-benar bingung apa yang tengah ibunya lakukan.
“Coba kamu ke dapur, ambilin botol kecap,” perintah ibunya sembari menutup kembali botol itu. Dengan bingung Renata pun berjalan ke dapur. Botol kecap ada di atas meja, tetapi saat dia menjulurkan tangan hendak meraihnya jari tangannya teriris oleh pisau yang ternyata ada di balik botol.
“Aww!”
Cuma tusukan kecil, tapi cukup membuat Renata menjerit kecil. Siapa yang menaruh pisau di tempat macam ini? Renata tak habis pikir.
“Itu kesialan.” Renata tersentak saat ibunya tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Terkena uapnya saja bisa membuatmu sial. Kalau kau teteskan ini ke seseorang ….”
Senyum Renata mengembang perlahan. Rencana jahat tersusun di dalam otaknya.
Renata menunggu hingga kelas kosong saat pelajaran olahraga untuk melancarkan aksinya. Saat yakin tak ada yang melihatnya di kelas, dia menuangkan setetes cairan kesialan ke seragam Alya yang dia simpan di dalam laci meja.
Menurut ibunya, selama cairan itu menempel di tubuh orang lain, kesialan akan terus menimpa orang itu.
Renata nyaris tertawa saat melihat cairan itu langsung bekerja. Saat Alya kembali mengenakan seragamnya tanpa sengaja dia menyenggol botol airnya sehingga air itu tumpah membasahi sepatunya. Saat dia mencoba menguras air dari sepatunya dia membungkuk terlalu cepat sampai-sampai kepalanya menghantam sudut meja, meninggalkan noda merah bengkak di dahinya.
Belum pernah rasanya Renata sebahagia itu. Di sepanjang hari dia terus mengamati Alya dan menikmati kesialan yang menimpa gadis itu. Mulai dari rambutnya yang tersangkut di tas, kakinya yang tergelincir genangan air, hingga saat Boy si primadona cewek menyebutnya bau kaki.
Sayangnya jam sekolah selesai dengan cepat dan Renata tak bisa mengikuti Alya ke rumahnya. Akhirnya Renata pun harus bersabar dan menunggu esok hari untuk melihat lebih banyak.
Namun keesokan harinya Renata sadar, hari ini mereka berganti ke seragam pramuka.
Setelah akhir pekan yang terasa amat panjang, akhirnya hari Senin pun datang. Renata menggenggam botol berisi satu tetes cairan kesialan terakhir erat-erat. Ini hari Senin dan mereka tak akan berganti seragam selama tiga hari ke depan. Dengan kata lain, dia bisa membuat Alya sial selama tiga hari penuh.
Renata sengaja datang lebih pagi saat kelas masih kosong. Dengan hati-hati dia menuang tetes terakhir ke kursi Alya. Saat Alya duduk di kursinya maka di situlah kebahagiaan Renata dimulai.
“Alya sakit jadi hari ini nggak masuk.”
Jantung Renata seolah jatuh ke perut saat mendengar apa yang gurunya katakan.
“Mumpung pertengahan semester, hari ini kita tukar tempat duduk. Satu-satu maju ambil undian.”
Jantungnya yang sudah di perut terasa jatuh ke tanah saat mendengar hal itu. Dia sudah menghabiskan semua cairan kesialan dan Alya memilih untuk tidak datang. Betapa sialnya Renata hari ini.
Namun yang membuat jantungnya terasa pecah adalah saat dia menarik undian dan mendapatkan kursi di tempat Alya harusnya duduk. Renata bisa merasakan detak jantungnya mengalirkan darah dingin ke seluruh tubuhnya.
“Renata duduk, ngapain ngelamun? Cepat! pelajaran mau mulai!”
Akhirnya Renata pun duduk. Pandangannya terasa gelap. Bahkan sebelum apa pun terjadi, dia meminta maaf pada Alya dalam hatinya.