JustPaste.it

The Sword of Peace

The Sword of Peace (Pedang Perdamaian)

Once upon a time there was a precious sword. Now, this sword belonged to a great King, and for as long as anyone could remember, the King spent all his time in his palace, enjoying his shows and parties. One day a great dispute broke out between this King and the King of a neighbouring country. It ended with both declaring war.

Suatu ketika ada suatu pedang yang berharga. Sekarang, pedang ini milik seorang raja yang besar dan selama orang dapat ingat, Sang Raja menghabiskan seluruh waktunya di istana, menikmati pertunjukan dan perayaan. Suatu hari ada sebuah perselisihan besar pecah di antara sang Raja dan raja dari negeri tetangga. Perselisihan itu berakhir dengan keduanya menyatakan perang.

 

The sword was greatly excited at the prospect of taking part in its first real battle. It would show everyone how truly brave and special it was, and would become renowned throughout the kingdom. On the way to the front line, the sword imagined itself the winner of many battles. However, when they arrived, the first battle had already taken place, and the sword got to see the results of war. What it saw had nothing in common with what the sword had imagined. No elegant shining knights, triumphant, with their weapons gleaming in the sunlight. Instead, all the sword saw was broken weapons, and hordes of hungry and thirsty men. There was hardly any food left. Everything was covered in dirt and shrouded in a disgusting smell. Many were half dead and scattered on the ground, bleeding from multiple wounds...

 

Pedang Perdamaian sangat bersemangat ambil bagian dalam perang pertamanya. Itu akan menunjukkan ke semua orang betapa berani dan spesial dirinya, dan akan membuat dirinya terkenal di seluruh kerajaan. Di garis depan, Si Pedang membayangkan dirinya sebagai pemenang banyak peperangan. Akan tetapi, ketika mereka sampai, dan pertempuran pertama sudah terjadi, dan Si Pedang melihat hasil dari perang tersebut. Apa yang dilihatnya tidak persis seperti yang dibayangkan si Pedang. Tidak ada ksatria-ksatria elegan yang bersinar, merayakan kemenangan, dengan senjata mereka berkilau terkena sinar matahari. Malah, semua yang dilihat si Pedang adalah senjata-senjata yang rusak, dan kumpulan orang-orang yang lapar dan haus. Hampir-hampir tidak ada makanan tersisa. Semuanya tertutup tanah dan memiliki bau yang menjijikkan. Banyak yang setengah mati dan berserakan di jalan, berdarah terkena banyak luka.

At this, the sword realised it liked neither wars nor battles. It decided it preferred to live in peace and spend its time taking part in tournaments and competitions. So, on the night before what was going to be the big final battle, the sword tried to find a way to prevent it from taking place. After a while, the sword started to vibrate. First it gave out a low buzz, but this gradually got louder, until it became an annoying metallic noise. The swords and armour of the other soldiers asked the King's sword what it was doing. It told them "I don't want there to be a battle tomorrow. I don't like war".

 

Melihat ini, si Pedang sadar bahwa dia tidak menyukai perang dan pertempuran. Dia memilih untuk tinggal dengan damai dan menghabiskan waktunya ambil bagian dalam turnamen dan kompetisi. Maka, di malam sebelum apa yang mungkin akan menjadi perang besar terakhir, si Pedang mencoba untuk mencari cara mencegah perang itu. Beberapa waktu kemudian, si Pedang mulai bergetar. Awalnya mengeluarkan suara bising yang rendah tapi makin lama makin keras sampai mengeluarkan suara besi yang mengganggu. Pedang-pedang dan pelindung badan bertanya pada si Pedang Raja apa yang dilakukan. Dia mengatakan, “Aku tidak mau ada di pertempuran besok. Aku tidak suka perang.”

 

One answered, "No one likes it, but what can we do?"

 

Satu senjata menjawab, “Tidak ada yang menyukai perang, tapi apa yang dapat kita lakukan?”

 

"Make yourself vibrate, just like I'm doing", said the King's sword. "If we make enough noise no one will sleep."

 

“Buat dirimu bergetar, seperti yang kulakukan”, kata si Pedang Raja. “Bila kita membuat suara yang cukup keras maka tidak ada orang yang akan bisa tidur”

 

So the weapons started vibrating, and the noise became deafening. It was so loud that it reached the enemy camp, and the weapons there, who were equally sick of the war, joined the protest.

 

Maka senjata-senjata mulai bergetar dan suaranya membuat orang tuli. Suaranya sangat keras sampai ke perkemahan musuh dan senjata-senjata di sana, yang sama-sama tidak suka akan perang, bergabung dalam protes.

 

The next morning, when the battle should have begun, not a single soldier was ready to fight. No one had managed to get even a wink of sleep, not even the Kings or the Generals. So they spent the whole day catching up on sleep. During the evening they started to wake up, and decided to put off the battle for the next day.

 

Keesokan harinya, ketika pertempuran seharusnya berlangsung, tidak ada satupun tentara yang siap berperang. Tidak ada seorangpun yang bisa tidur bahkan sekedipan mata, termasuk para raja dan jendral. Maka mereka memakai waktu sepanjang hari untuk tidur. Ketika malam saat mereka terbangun, mereka memutuskan untuk menunda pertempuran di keesokan harinya.

 

However, the weapons, led by the King's sword, spent the night repeating their peace song, and again no soldier could rest. The battle had to be postponed yet again, and this carried on for the next seven days. On the evening of the seventh day, the Kings of the two armies met to see what they could do about the situation. Both were furious from their previous dispute, but after being together for a while they started to discuss their sleepless nights, the surprise on their soldier's faces, the confusion of day with night, and the amusing situations all this had created. It wasn't long before both were laughing, like friends, at these little stories.

 

Akan tetapi, senjata-senjata tadi, dipimpin oleh si Pedang Raja, mengulangi lagu perdamaian mereka di malam hari dan lagi tidak ada tentara yang bisa istirahat. Pertempuran harus ditunda kembali, dan ini berlanjut sampai tujuh hari kemudian. Pada malam di hari yang ketujuh, raja-raja dari kedua pasukan bertemu untuk berdiskusi apa yang bisa mereka lakukan. Keduanya marah dengan perselisihan sebelumnya yang terjadi , tapi setelah bersama untuk beberapa lama mereka berdiskusi mengenai malam yang mereka tidak bisa tidur, terkejutnya muka tentara mereka, kebingungan waktu pagi dan malam, dan semua situasi menyenangkan yang telah terjadi. Tidak lama kemudian keduanya tertawa, seperti teman, dengan cerita-cerita kecil ini.

 

Fortunately, they forgot their old disputes and they put an end to the war, each returning to their own land with the double joy of not having had to fight, and having regained a friend. And from then on, from time to time the Kings would meet up to talk about their experiences as Kings. They now understood that the things which united them were much more numerous than anything that set them apart from each other.

 

Untungnya, mereka lupa akan perselisihan lama mereka dan mengakhiri perang, masing-masing kembali ke tanah mereka dengan sukacita yang berlimpah karena tidak perlu berperang, dan telah kembali berteman. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu para raja bertemu untuk bercerita pengalaman mereka sebagai raja. Mereka mengerti sekarang bahwa hal-hal yang mempersatukan mereka jauh lebih berarti daripada apa yang memisahkan mereka satu sama lain.