JustPaste.it

Stop The Time

[ yreumhv-amity-g3 ]

pink_flower_small.jpg

Sara segera mengambil telepon di kamarnya dan menekan nomer-nomer itu, terlalu tergesa untuk mengeceknya dua kali. Nada sambung itu akhirnya terangkat. Dengan bibirnya yang bergetar ia mengucapkan salamnya, "Halo."

"Halo, Sara," suara di ujung sana membalas dengan segera.

 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Chapter 2

 

“Ro-Rome?...” ucapnya ragu. Bibirnya masih gemetar, entah mengapa.

“Ya? Maaf, ini dengan siapa?” jawab Rome.

“Rome, ini aku Sara, istri Dean. Kau masih mengingatku?” tanyanya kepada Rome. Rome merupakan sahabat dari mendiang Dean sejak kecil, ia juga merupakan teman kerja Sam, adik Dean, sehingga Sara menganggap, mungkin Rome tahu sesuatu mengenai hal yang yang tidak diketahui Sara. Baik tentang Dean ataupun keberadaan Sam.

“Oh, ya… Tentu saja, istri dari sahabat kecilku,” ucapnya. “Bagaimana kabarmu dan juga bayimu itu? Dia menjadi bayi yang cantik bukan?” lanjut Rome menanyakan kabar Sara.

Deg.

Mendengar dan mengingat tentang bayinya, Sara menjadi tak berdaya lagi. Tubuhnya kini menjadi lemas.

“Sara? Kau baik – baik saja disana?” tanya Rome memastikan.

“Mandy…Mandy hilang, Rome,” jawab Sara lemas.

“Hilang bagaimana?” nada suara Rome kini berubah. Ia menjadi panik mendengar kabar buruk itu.

“Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, badanku lemas da membutuhkan istirahat. Kututup dulu ya? Senang bisa berbincang denganmu lagi, Rome,” ucap Sara, suaranya masih lemas, tidak ada perubahan.

“Oke, istirahatlah kalau begitu. Bagaimana kalau besok kita bertemu saja? Di kafe dekat tempatku kantorku jam 1 siang. Kantorku masih sama, masih satu kantor dengan Sam,” ucap Rome.

‘Ah…Sam!’ batin Sara. “Baiklah, kalau begitu besok siang di kafe dekat kantormu, sampai jumpa Rome,” ucap Sara, lalu menutup teleponnya dan menempatkannya kembali di tampatnya.

“Hah…” Sara menghela nafas panjang, dan menempatkan dirinya untuk berbaring di kasurnya. “Sam…Ke mana dia sekarang ya?” tanyanya seperti berbicara seorang diri. Pikirannya campur aduk.

Lalu Sara memejamkan matanya. Dalam benaknya, ia masih teringat bagaimana Mandy dirampas dari penjahat berpakaian serba hitam itu. Tidak, tidak serba hitam. Ia memang menggunakan kaca mata hitam, namun tidak denga framenya. Framenya berwarna biru tua.

Mata Sara langsung terbuka lagi. Ia baru manyadari hal itu, mungkin itu merupakan salah satu jalannya untuk mendapatkan putrinya kembali.

“Ah…Tidak, tidak,” gumamnya. Lalu memutar badannya ke kiri dan menempatkan tangannya kanannya di bawah pipi. “Kalau hanya kaca mata…pasti banyak sekali orang yang memilikinya. Ingat – ingat lagi, Sara…” gumamnya lagi lalu memejamkan matanya. Berpikir keras.

‘Jam! Apakah pria itu menggunakan jam? Sepertinya iya…Namun warna apa? Hitam juga? Atau biru tua? Tidak, tidak…’ batinnya. ‘AH! Coklat tua! Atau itu merah bata ya…’ batin Sara lagi.

Sara kembali membuka matanya, dan langsung menmpatkan dirinya untuk duduk dan bersandar. “Coklat tua atau merah bata…Sulit untuk membedakannya,” ucapnya seorang diri, lalu menggigit bibir bawahnya karena kebingungan.

Ia langsung meraih buku kecilnya serta pulpen merahnya dan menuliskan sesuatu di bukunya.

Kamis, 5 Februari 2015

Akhirnya kini aku sudah menerima beberapa petunjuk mengenai penculikan putri kecilku. Namun, itu masih terlalu sulit untukku, aku membutuhkan lebih bayak petunjuk lagi. Kaca mata hitam dengan frame biru tua. Jam tangan coklat tua/merah bata. Ah…Ini masih belum mengarah ke siapapun atau apapun.

Sewaktu aku melaporkan kepada polisi, bahkan polisi pun tidak bisa melacaknya, karena memang sang penculik tidak meninggalkan jejak apapun. Bahkan aku tidak dapat berfikir jernih waktu itu.

I miss you my lovely, Mandy…

 

Sara menghela nafasnya lagi. Lalu menutup bukunya dan membaliknya. Ia melihat sampul belakang buku tersebut. Terdapat fotonya dengan Dean, ketika berlibur ke Singapore tahun lalu.

“Aku merindukanmu, Dean…” ucap Sara sambil mengelus foto itu. Suaranya bergetar. Lalu ia menggigit bibir bawahnya lagi. Menahan agar air matanya tidak jatuh kembali.

Lalu Sara menempatkan buku itu kembali ke mejanya dan kembali berbaring di kasurnya untuk beristirahat.

“Semoga besok aku bisa mendapatkan informasi dari Rome…” ucapnya lalu memejamkan matanya.

 

Keesokan harinya…

 

Sara bersiap – siap untuk bertemu dengan Rome di kafe, tak lupa ia membawa note kecilnya untuk berjaga – jaga kalau ia teringat dengan suatu hal yang bersangkutan dengan Mandy. Sara meraih ponselnya, dan sibuk menekan tombol demi tombol sembari melihat buku telepon milik Dean.

Aku berangkat ke kafe sekarang. Sampai bertemu. Sara. Ia menekan tombol sent dan mengetikkan nomor Rome sebagai penerima. Lalu ia memasukkan ponselnya ke tas.

Sara memanaskan mobilnya dan mengendarainya ke kafe. Ini adalah pertama kalinya ia meninggalkan rumah setelah…Ya, setelah peristiwa putrid kecilnya itu.

Sesampainya di kafe, ia langsung mencari tempat duduk dan mendapatkan tempat duduk yang menghadap ke arah jendela.

“Sara, sudah lama kau disini?” ucap seseorang dengan suara berat.

“Ah, Rome…Tidak, aku baru saja sampai. Duduklah,” jawab Sara.

Lalu Rome mengambil tempat duduknya, dan mencari posisi yang nyaman untuknya.

“Kau sudah lebih baik sekarang?” tanya Rome.

Sara mengangguk kecil.

“Baiklah… Apakah ada yang ingin kau ceritakan padaku? Atau mungkin yang ingin kau tanyakan?” tanya Rome lagi.

Sara kembali mengangguk. “Tentang Mandy… Dia diculik oleh seseorang, atau mungkin sekelompok orang, aku tidak dapat mengetahuinya. Namun yang aku ingat, orang itu menggunakan pakaian serba hitam, namun kacamata dan jam nya biru tua dan coklat tua,” ucap Sara menjelaskan.

“ah, begitu rupanya…” jawab Rome, lalu ia berpikir. “Tapi kalau hanya keterangan seperti itu…Terlalu sulit untuk menemukan pelakunya. Kau sendiri tahu kan? Tidak hanya 1 atau 2 orang yang memiliki kaca mata dan jam tangan seperti itu. Peluang untuk mendapatkannya sangat kecil denga keterangan seminim itu,” jelas Rome.

“Ya, aku tahu… tapi kedatanganku ke sini bukan hanya untuk menceritakan tentang Mandy, aku ingin menanyakan tentang Dean dan Sam,” ucap Sara to the point.

“Ah, mereka… Apa yang ingin kau tanyakan?” tanya Rome.

“Pertama, tentang Dean… Apakah suamiku ini memiliki musuh atau orang yang tidak menyukainya? Karena Dean merupakan manager di perusahaannya, pasti tak jarang kan kalau mengalami hal seperti itu…” tanya Sara.

“Hm, ya… Hal itu adalah hal yang wajar. Namun, mengenai musuh atau persaingan dalam bisnis Dean, aku kurang mengetahuinya. Karena kalau masalah bisnisnya, aku tidak berani ikut campur kecuali Dean sendiri yang meminta bantuanku,” jelas Rome.

“Hah…” Sara menghela nafas. “Bagaimana dengan Sam? Apakah dia bekerja tadi?” tanya Sara.

“Kau memang jago dalam menghela nafas, benar apa yang Dean bilang haha,” ucap Rome. “Sam... Dia tidak terlihat tadi. Terakhir aku bertemu dengannya minggu lalu. Tepatnya 2 minggu setelah pemakaman Dean,” jawab Rome sambil mengingat – ingat.

“Ah…Apakah dia sakit? Atau terjadi sesuatu dengannya…” ucap Sara cemas.

“Entahlah, ketika aku bertemu dengannya di kantor, dia pulag terburu – buru,” ucap Rome. “Ah! Aku juga pernah bertemu dengannya di supermarket. Tiga hari yang lalu. Ketika itu dia sedang membeli…susu kaleng,” ucap Rome yang sempat membuat Sara kaget dengan suara beratnya itu.

“Susu kaleng?” tanya Sara. Ia sedikit bingung, karena kalau dari yang ia ketahui, Sam tidak menyukai susu kecuali susu kedelai. “Susu kaleng dengan rasa kedelai maksudmu?”

“Tidak…Setahuku disana tidak menjual susu kedelai,” jawab Rome. “Sepertinya itu susu bayi,” lanjutnya. Lalu menatap wajah Sara.

Sara berpikir sejenak. “Kenapa Sam membeli susu bayi? Sam kan belum menikah…” ucap Sara, lalu bersandar di bangkunya.

“Entahlah, aku tidak menanyakan itu kepadanya karena saat itu aku sedang buru – buru,” jawab Rome singkat. “Tapi, apakah kau sudah mencoba menghubungi Sam?” tanyanya.

Sara mengangguk. “Sudah berkali – kali, namun ponselnya tidak aktif. Apa mungkin dia mengganti nomornya?” tanya Sara.

“Hm… Aku tidak tahu apakah dia mengganti nomornya, karena aku hanya memiliki satu nomornya serta nomor rumahnya dan aku tidak tahu itu nomor lama atau baru,” jawabnya. “Tapi apakah kau sudah menghubungi rumahnya juga?” tanya Rome lagi.

“Belum, aku tidak memilikinya,” jawab Sara. “Bolehkah aku meminta nomornya?”

“Tentu saja,” jawab Rome.

Lalu Sara menyerahkan note kecilnya kepada Rome agar Rome dapat menuliskan nomor Sam disana.

“Baiklah, terima kasih atas bantuanmu hari ini Rome. Semoga saja aku bisa cepat bertemu dengan putriku dan juga Sam,” ucap Sara sembari memasukka note kecilnya itu kembali ke dalam tas.

“Ya, dengan senang hati aku membantu istri dari sahabatku Dean. Jaga dirimu baik – baik, Sara. Kalau kau butuh bantuan, aku siap membantumu,” ucap Rome.

Setibanya di rumah…

 

Sara langsung menempatkan dirinya di sofa. Lalu mengeluarkan ponsel dan buku kecilnya. Ia menekan tombol demi tombol, dan menelfonnya. Dan kali ini, telfonnya tersambung.

“Kita bertemu besok siang, di restoran dekat rumahmu. Jam 9 pagi,” ucap Sara tegas dan tanpa berbasa – basi.

“Ya, sampai jumpa,” jawab suara di sebrang sana.

“Sampai jumpa,” Sara mengakhiri pembicaraan, dan menarih ponselnya disampingnya. Lalu ia kembali memejamkan matanya, berfikir lagi…

 

Keesokan harinya…

 

Sara terbangun dari tidurnya, ia segera mengecek ponselnya dan melihat jam. ‘Astaga, sudah setengah 9!’ batin Sara. Lantas ia segera bergegas untuk pergi ke restoran tempat ia berjanjian dengan orang itu.

“Kali ini aku harus berhasil menemukan petunjuk…” ucap Sara.

Sesampainya di restoran, Sara segera memasukinya, dan melihat ke sekelilingnya. Mencari orang yang tak asing baginya itu. ‘Ah, itu dia!’ bantinnya.

“Maaf, aku terlambat,” ucap Sara.

Orang tersebut langsung menoleh ke asal suara. “Ah tak apa, duduklah,” ucapnya.

“Bagaimana kabarmu? Maaf kemarin aku bicara dengan nada seperti itu padamu,” ucap Sara.

“Hm, baik. Kau sendiri?” tanyanya.

“Keadaanku tidak akan lebih baik jika aku belum menemukan putriku,” jawab Sara, lalu ia menunduk.

Deg.

Tiba tiba, pria itu seperti salah tingkah, entah mengapa. Sara mengangkat kembali kepalanya.

“Sam? Apakah kau mengetahui sesuatu tentang putriku?” tanya Sara to the point.

“Apa? Kenapa kau bertanya padaku? Aku bahkan baru mengetahui kabar itu sekarang,” ucapnya dengan nada sedikit ‘nge-gas’.

“Ah…” Sara mengehla nafasnya. Lalu kembali menunduk. Menatap meja yang membatasi dirinya dan Sam.

Sara mengetuk – ngetuk jari telunjuknya di meja. Lalu ia mengarahka tatapannya ke pakaian Sam.

‘Sam selalu memakai pakaian yang terang… Tidak pernah berubah’ batinnya. ‘Ah! Jam itu’ Sara terbelalak, dan langsung menatap Sam kaget.

“Mengapa?” tanya Sam heran.

“Kamu tidak perlu berbohong padaku, Sam. Bagaimana pun aku ini kakak iparmu,” ucap Sara.

Sam kembali salah tingkah. Ia terlihat seperti mencari alasan, namun akhirnya ia menjawab, “kau bukanlah kakak iparku lagi, setelah Dean tiada,” jawabnya.

“me-mengapa begitu?” tanya Sara kaget akan jawaban Sam. “Kembalikan Mandy!” ucapnya.

“Dari dulu, keluargaku tidak pernah menyukaimu, namun karena Dean memaksa untuk menikahimu, maka kami pun mengalah. Namun sekarang, kami takkan mengalah darimu,” ucap Sam.

“Tapi putriku, Sam…Mandy ku…” ucap Sara dengan nada memelas.

“Mandy saat ini masih ku rawat. Aku akan menjaganya hingga dia besar dan menjadi wanita yang berpendidikan tinggi, karena ini atas perintah ibu dan kemauan Dean untuk menyekolahkan anaknya hingga menjadi orang besar,” tutur Sam. “Kau tak perlu takut aku menelantarkannya, karena aku takkan berbuat itu. Bagaimana pun juga, Mandy adalah penerus keluarga kami,” lanjutnya.

“Tapi Sam, Mandy adalah darah dagingku, biarlah aku yang merawatnya, aku ibunya!” jawab Sara dengan mata yang berkaca – kaca, emosinya meluap. “Apa kau tega membiarkan seorang ibu terpisah dengan anak kandungnya?”

“Maaf, Sara. Tapi aku harus pergi sekarang, Mandy membutuhkanku,” ucap Sam mengabaikan perkataan Sara, dan langsung berdiri untuk meninggalkan sara.

“Sam!” Sara segera berdiri juga dan meraih lengan Sam. “Kumohon, izinkan aku bertemu dengan Mandy, walaupun untuk terkahir kalinya…” ucap Sara.

“Baiklah, ikut denganku,” ucap Sam.

Sara mengangguk. ‘Apakah ini akan benar – benar menjadi pertemuanku yang terakhir dengan Mandy?’ batinnya.

 

Sesampainya di apartemen Sam…

 

Deg.

Terdengar bunyi tangisan seorang bayi perempuan. Itu benar benar membuat hati Sara luluh. Ia segera menghampiri ke asal suara. Sam mengikutinya. Membiarkan sara bertemu dengan putrinya, untuk yang terakhir kali.

“Mandy, putriku…” ucap Sara dengan mata berkaca – kaca. Diangkatnya Mandy dari ranjang bayinya dan Sara menempatkannya dalam pelukannya. Sara mengecup dahi putrid kecilnya yang rambutnya beraroma jeruk.

“Kau merawatnya dengan baik, Sam. Buatlah ia menjadi gadis yang baik dan pintar. Jagalah ia selalu untukku dan Dean,” ucap Sara sambil tersenyum. Ia kini berusaha untuk mengikhlaskan putrinya untuk dirawat oleh Sam. Walu sebenarnya ia benar – benar menginginkan Mandy.

“Pasti. Namun aku melakukannya bukan untukmu, tetapi untuk Dean,” jawab Sam.

“Tak apa, setidaknya lakukan tugasmu dengan baik untuk merawat Mandy,” ucap Sara.

Sam mengangguk. “Pulanglah, aku dan Mandy membutuhkan istirahat, karena kami akan pergi besok,” ucap Sam.

“Pergi? Ke mana?” tanya Sara.

“Aku berjanji pada ibu untuk membawa Mandy tinggal di Amerika hingga ia besar nanti. Namun aku berkata pada ibu untuk membawanya jika Mandy telah bertemu denganmu, dan sekarang hal itu sudah terlaksana,” jelas Sam.

Air mata Sara kini benar – benar mengalir. “Jadi, aku benar – benar tidak akan bertemu dengan putriku lagi? Walau hanya sebuah kebetulan?” tanya Sara.

Sam mengangkat kedua bahunya. “Namun kalau memang takdir kalian akan bertemu, pasti lambat laun kalian dapat bertemu kembali. Dalam situasi yang berbeda,” jawabnya.

Sam mengambil Mandy dari gendongan Sara, dan menempatkannya kembali ke ranjangnya.

“Pulanglah dan beristirahatlah. Kau sudah mengeluarkan banyak air mata, kau membutuhkan istirahat,” ucap Sam berusaha peduli kepada Sara.

Sara melihat ke belakangnya, terlihat pipi Mandy yang merah seperti apel sedag tertidur pulas di ranjangnya. ‘Kau akan tumbuh menjadi gadis cantik…’ batinnya sambil tersenyum.

Lalu Sara berjalan ke arah pintu ditemani oleh Sam. Sam membukakan pintu untuk Sara.

“Terima kasih atas kunjunganmu hari ini,” ucap Sam.

Sara mengangguk. “Ya, hiduplah dengan baik bersama Mandy,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.

“Kau juga,” ucap Sam.

Sara berjalan keluar dari pintu dan meninggalkan apartemen Sam tanpa melihat ke belakang lagi. Sam menutup pintunya.

Sara berada di area parker apartemen. Ia memandang langit biru yang luas. “Hah…” ia menghela nafasnya, dan berusaha tersenyum tegar.

 

15 tahun kemudian…

 

“Baiklah anak – anak, pelajaran hari ini selesai. Selamat siang,” ucap Sara.

“Selamat siang, bu,” ucap anak – anak binaan Sara.

Sara berjalan meninggalkan kelas dan menuruni tangga untuk menuju kantor guru. Di bawah tangga, ia melihat seorang gadis dengan mata yang mirip dengannya.

Deg.

Hati Sara kembali luluh melihat tatapan anak itu. ‘Apakah itu dia?’ batinnya.

Gadis itu terlihat bingung, namun ia tetap berjalan pasti menghampiri Sara dan berhenti beberapa langkah tepat di depan Sara.

Mereka saling bertatapan, dengan tatapan yang sama. Tatapan rindu dan penuh kasih sayang.

“Mommy!!!” gadis itu memeluk Sara dengan erat, dan membuatnya menitikkan air mata.

“Mandy ku…” ucap sara membelai rambut Mandy yang lurus dan lembut.

‘Ini benar – benar waktu yang kunantikan selama ini. Janganlah waktu itu cepat berlalu. Oh, please stop the time…’